Terbaru

Cerpen : Kolong Sejarah

Written By Unknown on Senin, 24 Agustus 2015 | 16.20


“Ya Allah, Meski sehari izinkan hamba ini bersamanya. Aamiin.” Dan mata ini terpejam sesaat setelah doa terhembus dari mulut ini.
1949
“Bergegaslah, sebentar lagi kita harus bergerak!” perintah Djuwari padaku. Segera ku bereskan buntelan kami dan bergerak. Sudah tiga hari kami berjalan, hanya hutan, hutan, dan hutan. Yang kami temukan sejauh ini hanya jejak perjalanan dari daun-daun dan batang semak yang ditebas untuk bisa dilewati. Jika mengurangi waktu istirahat, mungkin Dua atau Tiga hari kami akan mencapai mereka.
“Rasanya jauh sekali ya Djuwari. Suara mereka bahkan tidak terdengar.” Tidak ada tanda-tanda mereka. Aku rasa jarak mereka masih Empat hari perjalanan.” Aku agak mengeluh. Lelah sekali disiksa nyamuk hutan yang besar-besar. Ular berbisa kadang mengintai, makhluk buas hingga demit hutan jawa rasanya terus meneror mentalku. Tapi aku bersama Djuwari yang berani. Pemuda ceking itu bahkan membaca jejak-jekak dihutan ini layaknya sang ahli. Aku tidak perlu takut, karena sekarang berada bersama seorang professional berbalut penampilan tradisional.
Setelah perjalanan panjang tiada henti hari ini, malam pun menjelang dan membuat hutan ini kian horor. Obor kami jadikan api unggun sekarang. Seperti malam-malam sebelummnya  kami akan bergantian tidur untuk berjaga-jaga. Dan pada malam ini aku akan lebih dulu mengambil jatahku. Tentu waktu istrahat tak bisa disia-siakan. Kami harus terus  bergerak besok. Segera mata ini terpejam.
Rasanya baru sekejap, tapi Djuwari sudah membangunkanku dengan paksa. Entah apa sebabnya. Tapi dia agak kasar saat membangungkanku hingga kusadar rupanya saat itu kami sudah tidak lagi sendiri. Tak bisa aku pastikan berapa jumlah mereka yang jelas beberapa diantaranya bahkan menodongkan senapan pada kami. Kepala Djuwari bahkan berdarah, mungkin sebelum aku terbangun, Djuwari sempat dihajar.
“Siapa kalian, jawab!” sesosok pria berwajah kasar menodongkan laras panjang tepat dihidungku.
“Ka, ka, kami orang solo mas. Kami pengen ikut rombongan. Ini kami bawa bekal buat beliau” jawabku gemetar sambil menyodorkan buntelan kami pada mereka. “Ini untuk pak ustad” tambahku lagi. Semoga dapat meyakinkan pria seram ini. Ia terus menatapku. Tatapannya yang sedang mengintrogasi dan mengancam. Ia melirik pada pemuda lain dan memberi isyarat untuk memeriksa buntelan yang kubawa. Setelah dipastikan aman, tak lantas membuat kami dilepaskan dari pengawasan. Tangan dan kaki kami diikat. Orang-orang ini pasti mengira kami adalah mata-mata.
Kami duduk dan saling menatap berdua.  Aku dan djuwari. Kami berdua menangis, akhirnnya setelah tiga hari berjalan dan mencari, m alam ini kami disergap dan akan bertemu dengannya sebentar lagi. Sudah lama rasanya aku tak mendengar nasehat ustad. Lama sekali sejak beliau masuk hutan dan berjuang. Kerinduanku padanya membuatku memutuskan untuk menyusulnya bersama Djuwari. Djuwari tak kalah rindu. Tangisnya bahkan tak henti hingga pagi, bahagia bisa ketemu ustad.
Subuh menjelang, puluhan orang ini sholat bergantian. Aku mendorong-dorong Djuwari. Sepertinya Djuwari juga paham.
“Mas, kami juga mau subuh” kata Djuwari pada pria yang menjaga kami. Alhamdulillah kami  diizinkan sholat walau sampai harus dijaga enam orang bersenjata.
Setelah pagi datang, kami digiring tentu dengan ikatan tangan. Kami dihadapkan padanya. Padanya yang selama ini kami cari-cari. Demi bertemu dan bersamanya kami rela meninggalkan keluarga. Pagi ini dihadapan kami, ada ustad kami didalam tandunya. Jendral Soedirman.
Tangisku dan tangis Djuwari membahana. Kami lihat dihadapan kami pria kurus tapi karismatik. Tergambar dari pucat wajah akan penyakit parah yang dideritanya. Hanya duduk dalam tandu, ia memimpin puluhan orang memperjuangkan marwah bangsa. Siapa yang tak bahagia bertemu dia, guru ngajiku. Yang begitu gagah memimpin tentara. Sungguh aku rindu. Dulu kau ajarkan aku mengaji dan sholawat, sekarang, mohon ajari aku takbir dan menembak penjajah.
Aku berdiri dengan tangan yang masih terikat. Dengan isakan tangis suara parauku perlahan bicara padanya. “Ustad, izinikan aku ikut denganmu. Jendral izinkan aku ikut dengan mu!” ucapku merengek. Padahal usiaku sudah cukup tua untuk merengek seperti bocah. Tapi kali ini aku lebih memilih mati ketimbang tidak diizinkan ikut.
“Jalan sekarang!” hanya itu yang keluar dari mulut Pak Ustad. Luar biasa berwibawa, tangisku makin keras. Pria yang semalam berwajah seram membuka ikatan tangan kami. Djuwari bahkan ditamparnya sambil berkata
“Kalau mau ikut jendral jangan cengeng, semua disini wajib pegang senjata!” aku buru-buru diam agar tidak ditampar juga seperti Djuwari.
Perjalanan kami lanjutkan. Diperjalanan pria itu menjelaskan pada kami bahwa malam ini markas belanda diselatan hutan ini akan diserang. Ada gudang senjata dan bahan bakar yang harus diledakkan.
“Tugas kami apa mas?” Tanya Djuwari polos.
“Jangan bikin kacau!” singkat padas jelas dan pedas. Anak baru seperti kami memang harus banyak belajar dulu. Ini bukan main-main. Markas militer yang akan kami serang adalah markas besar belanda. Sedikit saja kekacauan maka habislah, Jendral akan terancam. Itulah sebabnya kami sempat dikira mata-mata oleh mereka semalam. Kewaspadaan tinggi berlaku disini.
Tak terasa perjalanan kian dekat pada tujuan, aku dan Djuwari mendekat pada pemikul tandu jendral. “Mas, boleh gantian kami yang mikul tandunya jendral?” tanyaku pada salah seorang pemuda yang memikul tandu jendral. Dia senyum dan  menjawab.
“Boleh. Kalau aku sudah mati nanti, ya!” Itulah jawaban dari pemuda yang pastinya karena ia enggan menyerahkan kehormatan memikul tandu pemimpin mereka begitu saja. Pemuda itu tentu baru akan berhenti setelah ia mati. Dan tentu ini tidak main-main. Suatu hari nanti jika aku berkesempatan juga, tak akan kuserahkan pada yang lain sebelum aku mati.
Kami sudah ditepian hutan, Markas militer belanda sudah terihat, Jendral memberikan isyarat pada seluruh pasukan yang dibawanya. Sebagian siap menyerang dan sebagian berjaga. Dan dalam sekejap markas didepan sana riuh dan sirene berbunyi memekak malam. Tentara belanda yang tak semua siap dan tak menduga serangan ini terlihat kacau dari sini. Ingin sekali aku turut serta dalam pesta disana tapi anak baru harus banyak belajar dulu.
Dikejauhan aku melihat orang seram yang semalam menodongku, berlari menuju sebuah gedung. Sepertinya itu adalah gudang senjata. Ia gagah sekali tapi malah terhenti dan jatuh. Peluru telah merobohkannya. Spontan aku tergerak dan berlari kedepan menggapai sang pahlawan. Sebisanya aku tarik dia keluar dari pertempuran dan mengamankannya di dalam hutan.
“Nak, gedung itu harus dibakar!” itu yang keluar dari mulut orang kekar yang sedang sekarat ini. Aku paham dan dengan segera berlari menembus ributnya pertarungan malam itu. Desingan puluru seakan menyentil telinga, keras dan tiada Henti. Takut sudah ku buang malam itu. Karena malam itu aku begitu yakin akan mati, senang sekali rasanya. Beban serta takut sudah terangkat dan menghilang dari akal sehatku. Meski sudah senakat itu, syukurnya tidak ada satupun peluru mendatangiku. Tampa basa-basi segera aku bakar gudang senjata yang tentu akan segera merembet menghancurkan gudang bahan bakar.
Malam itu pesta besar, tapi sayang aku dan orang ini harus terpisah dari kelompok geriliya. Sesaat setelah gudang senjata belanda terbakar, kami semua mundur kembali kedalam hutan. Kami berdua, aku dan orang berwajah seram yang belakangan aku tahu namanya setiawan harus berlari keselatan menghindari kejaran belanda. Dan Djuwari terus bersama jendral melanjutkan gerilia. Itulah sehari kebersamaanku bergerilia bersama Ustad Soedirman, Jendral Soedirman.
69 tahun setelah merdeka. Ku diberi umur panjang menyaksikan sejarah perjalanan bangsa. tidak banyak orang sepertiku yang bisa merasakan seluruh presiden Indonesia mulai dari Soekarno hingga Jokowi. Semua dinamika bangsa ini aku rasakan mulai dari G30S PKI hingga pembekuan PSSI. Jadi aku bisa pastikan bahwa negeri ini, tak semerdeka 1945. Sama saja, tetap berat dan perjuangan melawan penjajah kian berat. Setiap masa bagiku adalah perang.
“Kek. Dia berhasil ditemukan!” cicitku masuk kekamar. Membawa kabar yang kutunggu. Segera saja aku minta diantarkan kesana. Perjalanan panjang hingga berhari-hari kutempuh bersama cicitku, cucuku bahkan ikut. Sayang, anak-anakku sedang sibuk. Padahal aku ingin mereka menyaksikan keajaiban.
Jalanan yang rusak parah ke tempat tujuan membuat pinggangku makin sakit saja. Tapi itu tidak penting karena sebentar lagi aku akan bertemu dengannya.
Disebuah desa terpencil diatas gunung. Rumah-rumah disini membuatku memastikan tidak ada orang kaya yang tinggal, semua miskin tertinggalkan pembangunan peradaban kota. Satu persatu rumah membuka pintunya. Melihat orang asing datang. Tapi aku sama sekali tak merasa asing dengan tempat ini. 60an tahun lalu aku disini bersama dia. Sebelum kami kabur dari tempat ini dan menyusul Jendral.
Kami masuk kesebuah rumah. Dan dia, sedang terbaring tempat tidurnya dikelilingi belasan keturunannya. Kedatanganku sudah ditunggu. Diujung hidup sahabatku Djuwari. Dia telah bergerilia begitu jauh dibelantara kehidupan ini.
“Tolong cerita kepadaku. Kamu dan jendral ustad ngapain saja dihutan?” tanyaku pada sahabatku yang bangkanya persis seperti aku, hanya saja ia lebih dulu sekarat.
Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk.”
65 tahun lalu aku menghabiskan sehari bergerilia bersama ustad sudirman, jendral negeri ini.
65 tahun kemudian aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama sisa pahlawan gerilia. Aku ingin ia bercerita kisah perjalanannya bersama Jendral yang akan membuatku iri. Seorang pahlawan yang ada dikolong sejarah. Djuwari sahabatku.

 Saiful Karama Teibang
Staf Humas Media LDK Unrika 2014-2015
Comments
0 Comments

0 komentar :

Posting Komentar

Kalam

Kalam
Edisi 28 April 2016

join us

join us
klik

FSLDK INDONESIA

FSLDK INDONESIA
Klik gambar