Pagi itu angin menyapa dengan
bedanya. Kami yang sedang dihantui rasa takut akan ujian beberapa hari
yang akan datang kecuali ‘dia. Ya. . . Dia adalah seorang sahabat
yang misterius lebih ke manusia berhati malaikat. Kenapa? Ia rela
membuat
catatan yang mungkin ia catat dengan suntuk semalaman untuk teman-
temannya baca, pahami dan mengaplikasikannya terutama saat ujian nanti.
Catatan itu beda ‘banget’ , terdiri dari lembaran-lembaran yang isinya cukup panjang. Tapi rasanya tidak ada yang tertarik dengan catatan itu, kecuali aku. Aku yang dipinjamkan, tapi lebih ke yang dikasih “catatan istimewa itu” oleh dia temanku yang berhati mulia.
Catatan itu beda ‘banget’ , terdiri dari lembaran-lembaran yang isinya cukup panjang. Tapi rasanya tidak ada yang tertarik dengan catatan itu, kecuali aku. Aku yang dipinjamkan, tapi lebih ke yang dikasih “catatan istimewa itu” oleh dia temanku yang berhati mulia.
Di mulai dari catatan inilah ku merasa
berubah. Catatan yang sampai sekarang masih kusimpan dengan baiknya, walaupun
sudah lusuh tapi tetap bagiku catatan yang istimewa ini ku anggap sebagai “catatan
hidayah”
Catatan itu adalah:
“Ada
sebuah dilema yang menjadi sebuah keniscayaan ketika ia berhadapan dengan
kehidupan manusia. Dilema ini sering menjadi stimulasi bagi tercipta sebuah
keadaan yang membingungkan ketika manusia mulai memasuki ruang lingkup dilemma tersebut.
Dilema tersebut adalah suatu keadaan dimana manusia harus memilih diantara dua
pilihan. Tidak hanya itu, ketika manusia mulai memilih maka ada beberapa hal
yang harus dipertahankan demi mencapai sebuah solusi dan terkadang kesalahan
dalam memilih yang sekaligus salah dalam mempertahankan akan menyebabkan suatu
keadaan yang menguntungkan si pelaku, ‘Malahan’, ia semakin terbawa lebih dalam
dilematika kehidupan manusia.
Seorang
suami, ketika ia dihidupkan oleh sebuah situasi dimana ia harus member makan
kepada anak dan istrinya maka satu hal yang pasti dipikirkanya adalah bagaimana
caranya memperoleh uang. Namun, hal itu baru merupakan problem awal. Lebih lanjut,
ia akan dihadapi oleh dua pilihan yakni apakah dengan cara yang halal ia harus
mendapatkan uang atau sebaliknya, ketika ia mulai memilih maka pertaruhanpun
dimulai. Apa yang dipertaruhkan ? Integritas (kejujuran)!! Itu adalah suatu hal
yang merupakan taruhan utama ketika ia mulai memilih.
Lalu
muncul sebuah argumentasi yang menyatakan bahwa kita hidup di dunia dapat
mengambil jalan mana saja. Apakah itu jalan yang halal ataupun sebaliknya. Semua
tergantung situasi. Maka, ketika situasi begitu mendesak, jalan apapun dapat
kita lakukan walaupun itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Selain itu
kondisi Negara serta masyarakat kita yang sedemikian kotornya dari
tindakan-tindakan curang memungkinkan untuk kita ambil bagian dalam perebutan
kualitas hidup yang lebih baik. Jadi, untuk apa kita pertahankan kejujuran kita
sedangkan orang-orang lebih dahulu mengabaikan kejujurannya.
Mungkin
statement terakhir tersebut cukup membuat kita terpengaruh untuk memasuki
dunianya orang-orang curang. Namun, apakah seperti itu? Apakah hasil yang diraih dari ketidakjujuran selalu
menyenangkan? Dan apa yang kita cari dari kehidupan ini? Pertanyaan-pertanyaan
ini harus kita jawab sebagai sebuah kebingungan kita saat ini.”
masih ingat dengan "catatan hidayah" itu ? inilah kelanjutannya . . .
Cobaan dan Esensinya
Cobaan dan Esensinya
Adalah satu hal yang mutlak bagi seseorang yang menjalani
kehidupan ini. Tidak ada satupun manusia yang hidup tanpa diberikan
cobaan.Cobaan ini tampil dengan berbagai macam corak. Intensitasnya pun
berbeda-beda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi,
satu hal yang pasti dalam kita memahami esensi (hakekat) cobaan ini
adalah bahwa cobaan tersebut sesuai dengan apa yang manusia mampu. Tuhan
adalah Maha bijaksana. Dia tidak akan memberikan cobaan kepada manusia
ketika manusia tidak mampu menanggungnya. Dia bukanlah wujud yang kejam
yang dengan sekehendak-Nya menimpakan suatu cobaan yang begitu berat
yang tidak sesuai dengan kemampuan manusia.
Akan tetapi, muncul berbagai keberatan yang mengomentari
perbuatan Tuhan atas cobaan yang diberikan-Nya kepada umat manusia.
Apakah disini Tuhan telah berbohong? atau Tuhan lupa dalam menentukan
kadar cobaan yang harus manusia hadapi? Tidak, sekali-kali Tuhan
tidaklah demikian! Seandainya Ia telah berbohong atau lupa maka
kehancuran hidup manusia seharusnya terjadi pada masa sebelum kita.
Ataupun, kesinergisan dari mekanisme kehidupan yang sedemikian
kompleksnya tidak akan dapat tercipta ketika Tuhannya suka berbohong
atau lupa. Kita tidak akan pernah menemukan orang-orang yang hidup
bahagia pada masa kita ini ataupun masa-masa sebelum kita.
Dan seandainya Tuhan lupa dalam mengatur mekanisme kehidupan
ini maka tidak akan pernah ada tatanan kehidupan begitu menakjubkan ini.
Kita lihat dari tingkat makro yakni struktur alam semesta yang telah
terangkai sedemikian rupa dengan tingkat ketelitian dan kecermatan yang
begitu tinggi. Kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan
ketidakseimbangan yang akan memulai proses penghancuran alam semesta.
Begitu juga untuk tingkat mikro, struktur sel yang di dalamnya terdapat
organela-organela penting telah didesain sedemikain rupa dengan
memperhatikan nilai-nilai kegunaan dari organela-orgenela tersebut.
Jadi, apakah yang akan terjadi ketika Tuhan mulai lupa dalam pengaturan
kehidupan ini. Sekarang, apakah yang menjadi kendala dalam manusia
menghadapi ujian atau cobaan dari Tuhan. Dan tidak sering, usaha
tersebit berbuntut pada kegagalan.
Sebenarnya, yang menjadi masalah adalah bentuk penyikapan
seseorang dalam menghadapi cobaan. Kesalahan dalam menyikapi suatu
cobaan akan mendatangkan suatu ketimpangan dalam kita memaknai esensi
cobaan. Dan tak jarang, banyak orang yang menyikapi suatu permasalahan
dengan metode yang begitu buruk. Akhirnya, ia keluar dari suatu jalan
yang lebih ditetapkan oleh-Nya. Lalu, ia semakin terpuruk dalam
menjalani kehidupan ini. Mentalnya semakin di cekam. Kekhawatiran akan
kesusahan semakin terbayang. Hidup dipenuhi rasa was-was. Jangan-jangan
ia akan gagal dan menjadi manusia yang hina di lingkungan sosialnya.
Lalu, apa manfaat dari cobaan itu sendiri? Menghadapi
sebuah cobaan, yang pertama kali harus ada adalah kesiapan. Semakin siap
ia dalam menghadapi suatu cobaan, semakin ia dapat menyelesaikan dengan
baik cobaan tersebut lalu meraih kesuksesan. Ketika seseorang
mengatakan ia tidak siap lalu mengatakan "PAS" atas cobaan yang sedang
ia hadapi, maka ia akan luput untuk memperkuat kesiapannya. Misalnya
saja kesiapan seseorang sebesar buah apel, lalu ia diberikan cobaan oleh
Tuhan sebesar buah apel pula maka ketika ia menghadapi cobaan tersebut,
sudah tentu ia pasti mampu untuk menyelesaikan karena kesiapan dengan
cobaan kadarnya sebanding. Dan ketika ia mulai membenturkan dirinya
dengan cobaan tersebut maka kesiapannya dalam menghadapi masalah akan
lebih besar. Akan tetapi seseorang yang dikarenakan ketakutannya akan
suatu cobaan, lalu ia menghindari ataupun melakukan hal-hal yang di luar
koridor kebenaran maka pada saat itu kesiapannya tidak akan berkembang.
Dan yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah ketika datang suatu
cobaan yanglebih besar dari sebelumnya. Ketika hal itu terjadi apakah
kita akan mngatakan bahwa cobaan itu tidak setara dengan kesiapan kita?
Sama sekali tidak. Merupakan kesalahan kita ketika kita menghindari
segala macam cobaan yang diberikan Tuhan. Tuhan tidaklah salah dalam
masalah ini. Yang salah adalah kita. Mengapa kita pada saat itu
menghindari cobaan-Nya? Dimana kita pada saat itu? Apakah kita belum
terbangun dalam tidur panjang kita yang selalu memimpikan kesuksesan
tanpa harus berusaha lebih keras?