Terbaru

Home » , , , , » Ketika Kecurangan Menjadi Solusi Terakhir

Ketika Kecurangan Menjadi Solusi Terakhir

Written By Unknown on Selasa, 02 Juni 2015 | 20.47

 Pagi itu angin menyapa dengan bedanya. Kami yang sedang dihantui rasa takut akan ujian beberapa hari yang akan datang kecuali ‘dia. Ya. . . Dia adalah seorang sahabat yang misterius lebih ke manusia berhati malaikat. Kenapa? Ia rela membuat catatan yang mungkin ia catat dengan suntuk semalaman untuk teman- temannya baca, pahami dan mengaplikasikannya terutama saat ujian nanti.
Catatan itu beda ‘banget’ , terdiri dari lembaran-lembaran yang isinya cukup panjang. Tapi rasanya tidak ada yang tertarik dengan catatan itu, kecuali aku. Aku yang dipinjamkan, tapi lebih ke yang dikasih “catatan istimewa itu” oleh dia temanku yang berhati mulia.
Di mulai dari catatan inilah ku merasa berubah. Catatan yang sampai sekarang masih kusimpan dengan baiknya, walaupun sudah lusuh tapi tetap bagiku catatan yang istimewa ini ku anggap sebagai “catatan hidayah”

Catatan itu adalah:

“Ada sebuah dilema yang menjadi sebuah keniscayaan ketika ia berhadapan dengan kehidupan manusia. Dilema ini sering menjadi stimulasi bagi tercipta sebuah keadaan yang membingungkan ketika manusia mulai memasuki ruang lingkup dilemma tersebut. Dilema tersebut adalah suatu keadaan dimana manusia harus memilih diantara dua pilihan. Tidak hanya itu, ketika manusia mulai memilih maka ada beberapa hal yang harus dipertahankan demi mencapai sebuah solusi dan terkadang kesalahan dalam memilih yang sekaligus salah dalam mempertahankan akan menyebabkan suatu keadaan yang menguntungkan si pelaku, ‘Malahan’, ia semakin terbawa lebih dalam dilematika kehidupan manusia.
Seorang suami, ketika ia dihidupkan oleh sebuah situasi dimana ia harus member makan kepada anak dan istrinya maka satu hal yang pasti dipikirkanya adalah bagaimana caranya memperoleh uang. Namun, hal itu baru merupakan problem awal. Lebih lanjut, ia akan dihadapi oleh dua pilihan yakni apakah dengan cara yang halal ia harus mendapatkan uang atau sebaliknya, ketika ia mulai memilih maka pertaruhanpun dimulai. Apa yang dipertaruhkan ? Integritas (kejujuran)!! Itu adalah suatu hal yang merupakan taruhan utama ketika ia mulai memilih.
Lalu muncul sebuah argumentasi yang menyatakan bahwa kita hidup di dunia dapat mengambil jalan mana saja. Apakah itu jalan yang halal ataupun sebaliknya. Semua tergantung situasi. Maka, ketika situasi begitu mendesak, jalan apapun dapat kita lakukan walaupun itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Selain itu kondisi Negara serta masyarakat kita yang sedemikian kotornya dari tindakan-tindakan curang memungkinkan untuk kita ambil bagian dalam perebutan kualitas hidup yang lebih baik. Jadi, untuk apa kita pertahankan kejujuran kita sedangkan orang-orang lebih dahulu mengabaikan kejujurannya.


Mungkin statement terakhir tersebut cukup membuat kita terpengaruh untuk memasuki dunianya orang-orang curang. Namun, apakah seperti itu? Apakah  hasil yang diraih dari ketidakjujuran selalu menyenangkan? Dan apa yang kita cari dari kehidupan ini? Pertanyaan-pertanyaan ini harus kita jawab sebagai sebuah kebingungan kita saat ini.”

masih ingat dengan "catatan hidayah" itu ? inilah kelanjutannya . . .

Cobaan dan Esensinya

          Adalah satu hal yang mutlak bagi seseorang yang menjalani kehidupan ini. Tidak ada satupun manusia yang hidup tanpa diberikan cobaan.Cobaan ini tampil dengan berbagai macam corak. Intensitasnya pun berbeda-beda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, satu hal yang pasti dalam kita memahami esensi (hakekat) cobaan ini adalah bahwa cobaan tersebut sesuai dengan apa yang manusia mampu. Tuhan adalah Maha bijaksana. Dia tidak akan memberikan cobaan kepada manusia ketika manusia tidak mampu menanggungnya. Dia bukanlah wujud yang kejam yang dengan sekehendak-Nya menimpakan suatu cobaan yang begitu berat yang tidak sesuai dengan kemampuan manusia.
     Akan tetapi, muncul berbagai keberatan yang mengomentari perbuatan Tuhan atas cobaan yang diberikan-Nya kepada umat manusia. Apakah disini Tuhan telah berbohong? atau Tuhan lupa dalam menentukan kadar cobaan yang harus manusia hadapi? Tidak, sekali-kali Tuhan tidaklah demikian! Seandainya Ia telah berbohong atau lupa maka kehancuran hidup manusia seharusnya terjadi pada masa sebelum kita. Ataupun, kesinergisan dari mekanisme kehidupan yang sedemikian kompleksnya tidak akan dapat tercipta ketika Tuhannya suka berbohong atau lupa. Kita tidak akan pernah menemukan orang-orang yang hidup bahagia pada masa kita ini ataupun masa-masa sebelum kita.
        Dan seandainya Tuhan lupa dalam mengatur mekanisme kehidupan ini maka tidak akan pernah ada tatanan kehidupan begitu menakjubkan ini. Kita lihat dari tingkat makro yakni struktur alam semesta yang telah terangkai sedemikian rupa dengan tingkat ketelitian dan kecermatan yang begitu tinggi. Kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan ketidakseimbangan yang akan memulai proses penghancuran alam semesta. Begitu juga untuk tingkat mikro, struktur sel yang di dalamnya terdapat organela-organela penting telah didesain sedemikain rupa dengan memperhatikan nilai-nilai kegunaan dari organela-orgenela tersebut. Jadi, apakah yang akan terjadi ketika Tuhan mulai lupa dalam pengaturan kehidupan ini. Sekarang, apakah yang menjadi kendala dalam manusia menghadapi ujian atau cobaan dari Tuhan. Dan tidak sering, usaha tersebit berbuntut pada kegagalan.
          Sebenarnya, yang menjadi masalah adalah bentuk penyikapan seseorang dalam menghadapi cobaan. Kesalahan dalam menyikapi suatu cobaan akan mendatangkan suatu ketimpangan dalam kita memaknai esensi cobaan. Dan tak jarang, banyak orang yang menyikapi suatu permasalahan dengan metode yang begitu buruk. Akhirnya, ia keluar dari suatu jalan yang lebih ditetapkan oleh-Nya. Lalu, ia semakin terpuruk dalam menjalani kehidupan ini. Mentalnya semakin di cekam. Kekhawatiran akan kesusahan semakin terbayang. Hidup dipenuhi rasa was-was. Jangan-jangan ia akan gagal dan menjadi manusia yang hina di lingkungan sosialnya.
          Lalu, apa manfaat dari cobaan itu sendiri? Menghadapi sebuah cobaan, yang pertama kali harus ada adalah kesiapan. Semakin siap ia dalam menghadapi suatu cobaan, semakin ia dapat menyelesaikan dengan baik cobaan tersebut lalu meraih kesuksesan. Ketika seseorang mengatakan ia tidak siap lalu mengatakan "PAS" atas cobaan yang sedang ia hadapi, maka ia akan luput untuk memperkuat kesiapannya. Misalnya saja kesiapan seseorang sebesar buah apel, lalu ia diberikan cobaan oleh Tuhan sebesar buah apel pula maka ketika ia menghadapi cobaan tersebut, sudah tentu ia pasti mampu untuk menyelesaikan karena kesiapan dengan cobaan kadarnya sebanding. Dan ketika ia mulai membenturkan dirinya dengan cobaan tersebut maka kesiapannya dalam menghadapi masalah akan lebih besar. Akan tetapi seseorang yang dikarenakan ketakutannya akan suatu cobaan, lalu ia menghindari ataupun melakukan hal-hal yang di luar koridor kebenaran maka pada saat itu kesiapannya tidak akan berkembang. Dan yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah ketika datang suatu cobaan yanglebih besar dari sebelumnya. Ketika hal itu terjadi apakah kita akan mngatakan bahwa cobaan itu tidak setara dengan kesiapan kita? Sama sekali tidak. Merupakan kesalahan kita ketika kita menghindari segala macam cobaan yang diberikan Tuhan. Tuhan tidaklah salah dalam masalah ini. Yang salah adalah kita. Mengapa kita pada saat itu menghindari cobaan-Nya? Dimana kita pada saat itu? Apakah kita belum terbangun dalam tidur panjang kita yang selalu memimpikan kesuksesan tanpa harus berusaha lebih keras?

Comments
0 Comments

0 komentar :

Posting Komentar

Kalam

Kalam
Edisi 28 April 2016

join us

join us
klik

FSLDK INDONESIA

FSLDK INDONESIA
Klik gambar