Dokumentasi:
pelatihan Menulis para kepala sekolah SD kec. cilograng kab.lebak, Banten
|
Hari-hari ini,
banyak kita temui segelintir orang yang beranggapan bahwa seseorang yang ingin
mahir menulis harus memiliki rasa cinta terhadapnya. Parahnya lagi, anggapan ini semakin tumbuh
subur dan telah membudaya dalam masyarakat kita, baik itu di lingkungan
sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan lainnya. Akibatnya, mindset generasi muda kita seakan
terdoktrin dengan anggapan-angapan tersebut sehingga kreativitas mereka dalam
bidang tulis-menulis terpasung. Atas dasar itulah, kami akan mencoba mengangkat
beberapa alasan mengapa menulis tidak harus membutuhkan rasa cinta.
Pertama, cinta
itu akan datang dengan keterbiasaan.
Kami yakin sekali, anda pasti pernah mendengar pepatah jawa yang berbunyi ”witing tresno jalaran soko kulino, cinta dtng krn terbiasa bertemu”. Pepatah
tersebut seakan memperjelas bahwa menulis tidak harus cinta dulu, tidak harus
punya bakat dulu. Karena hakekatnya, rasa cinta dalam menulis akan datang
ketika kita berusaha mendekatkan diri dengan cara terbiasa menuliskan hal-hal
yang ada dalam pikiran kita. Sikap seperti ini memungkin kita terbiasa
bersentuhan dengan dunia menulis sehingga lama-kelaman cinta itu akan datang
dalam diri kita. Seperti kata sebuah
pepatah “tak kenal maka tak sayang, tak
sayang maka tak cinta”. Tetapi ingat cinta dalam menulis hanya akan datang, ketika kita berusaha mengenalinya. Sebagai ilustrasi, anda pasti mengenali
penulis besar seperti habiburahman elzirazy, andrias harefa, dan asma nadia.
Apa awalnya rasa cinta mereka dalam dunia tulis-menulis datang begitu saja?
Jawabannya tidak. Mereka bisa sehebat
itu. Hal ini dikarenakan mereka mau
berusaha dan membiasakan diri untuk menulis dimanapun mereka berada.
Boleh jadi ide-idenya yang masih abstrak yang ada dalam pikiran mereka,
langsung disalurkan dalam wujut nyata dengan menuliskannya pada selembar
kertas. Intinya, bagaimana kita mau berusaha mendatangkan rasa cinta dalam
menulis dengan berusaha membiasakan diri kita untuk lebih dekat dengannya.
Kedua, cinta itu
membutuhkan pengorbanan. Dalam menulis
juga dibutuhkan pengorbanan, bukan hanya dalam hal urusan cinta saja, Tetapi juga bagaimana kita mampu passion dan
compassion dalam alasan yang kedua ini. maksudnya adalah bagaimana kita
berusaha menikmati tantangan yang dihasilkan sebagai konsekuensi ketika kita
mau belajar mendatangkan rasa cinta dalam menulis. Anda
harus mengalami kegagalan, kekeksalan, marah, dan alokasi waktu yang
relatif lebih untuk bisa menghadirkan rasa cinta menulis dalam hati kita.
Perlunya kita sadari bahwa pengorbanan yang harus kita bayar dari usaha kita
ini, bukanlah sesuatu yang sia-sia. Boleh jadi pengorbanan inilah yang membuat
kita akan semakin teruji kualitas tulisan kita setiap harinya. Bagaimanapun
juga, pengorbanan itu harus ada dalam setiap usaha kita. Sebuah kata bijak
dikatakan “hidup ini seperti sebuah gema,
tatkala kita memberikan sesuatu, kita akan mendapatkannya kembali dalam jumlah
yang jauh lebih banyak”. Layaknya itulah hokum alam dalam menulis, ketika
kita ingin mengharapkan untuk bisa menjadi penulis yang handal. Maka,
bersiaplah memberikan pengorbanan anda untuk mencapainya.
Ketiga, cinta
itu membutuhkan konsistensi. Ibarat sebuah pohon jika tidak memiliki akar yang
kuat. Maka, pohon tersebut akan mudah tumbang. Hal ini tidak jauh berbeda dalam
menulis. Seorang yang ingin memantapkan
rasa cinta terhadapnya, kita harus memiliki konsistensi yang tinggi untuk
menerima apapun konsekuensi yang ditimbulkannya. Mengapa hari ini banyak kita dapati orang
gagal dalam menghasilkan karya tulis? alasannya, karena mereka kurang
konsistensi dalam mencapai target-target mereka. Kami pernah sharing dengan
salah seorang teman kami. Dia mengatakan “saya
telah berulang kali mencoba dan mencoba untuk belajar menulis, tetapi hasilnya
tetap saja tidak bisa”. Maka, alasan itulah yang membuatnya memutuskan
untuk berhenti mencoba menulis. Kasus seperti ini sudah seringkali kita temui
dalam kehidupan kita. Selalu saja orang
mengambinghitamkan bakat sebagai alasan kegagalan dalam menulis. Padahal
sebenarnya, sikap konsistenlah yang
kebanyakan tidak dimiliki seseorang. Maka dari itu, jangan terus menyalahkan
bakat, kesibukan, waktu, dan lain sebagainya. Belajarlah menciptakan konsisten
dalam diri kita dengan begitu apapun kondisinya, kita akan lebih mudah
menghadapi tantangan yang datang.
Sebagai
tambahan, sikap konsistensi akan menciptakan impian yang besar. Seorang penulis
yang besar lahir dari sikap konsistensinya untuk mencapai impian terbesar. Jika
saja mereka tidak mempunyai konsistensi dalam setiap usaha mereka. Mungkin saja
sampai hari ini, mereka hanya akan
menjadi orang-orang yang memuji karya-karya orang lain. Mungkin juga mereka hanya akan mengubur semua
impian terbesar dalam hidup mereka.
Tetapi dengan sikap konsistensilah yang membuat mereka berani melakukan
transformasi besar dalam diri mereka. Akhirnya, tercipta masterpiece dari
tangan-tangan mereka.
Sebagai
kesimpualn dari bahasan ini adalah bahwa menulis bukanlah persoalan cinta,
tetapi bagaimana kita mau dan konsisten dalam mendatangkan rasa cinta dalam
diri kita. Untuk mendatangkan semua itu,
maka kita harus menerima konsekuensi yang berupa pengorbanan waktu, kegagalan,
dan penderitaan. Kesemuanya itu, semata-mata ingin menguji kapasitas dan
kualitas potensi menulis yang kita miliki. Berpikirlah positilah selalu, jangan
biarkan pikiran negatif merenggut semua impian yang telah anda bangun. Yakinlah
dengan potensi yang anda miliki akan dapat mengantarkan diri anda menjadi
pemenang sejati. Menutup bahasan ini
kami akan mengutip kata bijak “Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua; yaitu
mereka yang berpikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang
melakukan kegagalan dan tak pernah memikirkannya. semoga dengan kata bijak itu, dapat merubah mindset kita untuk tidak lagi
beranggapan menulis itu harus memiliki
rasa cinta dulu. Ayo bangkit mahasiswa indoensia.
Bangkit dengan tulisanmu, bangkit dengan semangatmu. jadlah generasi masa depan
dengan menulis.
Asrulla Alumnus Sastra Inggris
Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar sebelum bergabung di Sekolah Guru
Indonesia menjadi guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah favorit Islam
terpadu di kota Makassar. Menjadi praktisi hypnotherapy dan terdaftar sebagai
trainer dan terapis di Indonesian of Board Hypnotherapy (IBH) Jakarta. Saat ini
mengabdi di SDN 5 Cidikit Kabupaten lebak, Banten dalam program Sekolah Guru
Indonesia_Dompet Dhuafa . Motto: if you
stop learning, you can stop growing
sikeli
27 oktober 1989
rightasrul@gmail.com
085697550312