“Ya Allah, Meski sehari
izinkan hamba ini bersamanya. Aamiin.” Dan mata ini terpejam sesaat setelah doa
terhembus dari mulut ini.
1949
“Bergegaslah, sebentar lagi
kita harus bergerak!” perintah Djuwari padaku. Segera ku bereskan buntelan kami
dan bergerak. Sudah tiga hari kami berjalan, hanya hutan, hutan, dan hutan.
Yang kami temukan sejauh ini hanya jejak perjalanan dari daun-daun dan batang
semak yang ditebas untuk bisa dilewati. Jika mengurangi waktu istirahat,
mungkin Dua atau Tiga hari kami akan mencapai mereka.
“Rasanya jauh sekali ya
Djuwari. Suara mereka bahkan tidak terdengar.” Tidak ada tanda-tanda mereka.
Aku rasa jarak mereka masih Empat hari perjalanan.” Aku agak mengeluh. Lelah
sekali disiksa nyamuk hutan yang besar-besar. Ular berbisa kadang mengintai,
makhluk buas hingga demit hutan jawa rasanya terus meneror mentalku. Tapi aku
bersama Djuwari yang berani. Pemuda ceking itu bahkan membaca jejak-jekak
dihutan ini layaknya sang ahli. Aku tidak perlu takut, karena sekarang berada
bersama seorang professional berbalut penampilan tradisional.
Setelah perjalanan
panjang tiada henti hari ini, malam pun menjelang dan membuat hutan ini kian
horor. Obor kami jadikan api unggun sekarang. Seperti malam-malam
sebelummnya kami akan bergantian tidur
untuk berjaga-jaga. Dan pada malam ini aku akan lebih dulu mengambil jatahku.
Tentu waktu istrahat tak bisa disia-siakan. Kami harus terus bergerak besok. Segera mata ini terpejam.
Rasanya baru sekejap,
tapi Djuwari sudah membangunkanku dengan paksa. Entah apa sebabnya. Tapi dia
agak kasar saat membangungkanku hingga kusadar rupanya saat itu kami sudah
tidak lagi sendiri. Tak bisa aku pastikan berapa jumlah mereka yang jelas
beberapa diantaranya bahkan menodongkan senapan pada kami. Kepala Djuwari
bahkan berdarah, mungkin sebelum aku terbangun, Djuwari sempat dihajar.
“Siapa kalian, jawab!”
sesosok pria berwajah kasar menodongkan laras panjang tepat dihidungku.
“Ka, ka, kami orang
solo mas. Kami pengen ikut rombongan. Ini kami bawa bekal buat beliau” jawabku
gemetar sambil menyodorkan buntelan kami pada mereka. “Ini untuk pak ustad”
tambahku lagi. Semoga dapat meyakinkan pria seram ini. Ia terus menatapku.
Tatapannya yang sedang mengintrogasi dan mengancam. Ia melirik pada pemuda lain
dan memberi isyarat untuk memeriksa buntelan yang kubawa. Setelah dipastikan
aman, tak lantas membuat kami dilepaskan dari pengawasan. Tangan dan kaki kami
diikat. Orang-orang ini pasti mengira kami adalah mata-mata.
Kami duduk dan saling
menatap berdua. Aku dan djuwari. Kami
berdua menangis, akhirnnya setelah tiga hari berjalan dan mencari, m alam ini
kami disergap dan akan bertemu dengannya sebentar lagi. Sudah lama rasanya aku
tak mendengar nasehat ustad. Lama sekali sejak beliau masuk hutan dan berjuang.
Kerinduanku padanya membuatku memutuskan untuk menyusulnya bersama Djuwari.
Djuwari tak kalah rindu. Tangisnya bahkan tak henti hingga pagi, bahagia bisa
ketemu ustad.
Subuh menjelang,
puluhan orang ini sholat bergantian. Aku mendorong-dorong Djuwari. Sepertinya
Djuwari juga paham.
“Mas, kami juga mau
subuh” kata Djuwari pada pria yang menjaga kami. Alhamdulillah kami diizinkan sholat walau sampai harus dijaga
enam orang bersenjata.
Setelah pagi datang,
kami digiring tentu dengan ikatan tangan. Kami dihadapkan padanya. Padanya yang
selama ini kami cari-cari. Demi bertemu dan bersamanya kami rela meninggalkan
keluarga. Pagi ini dihadapan kami, ada ustad kami didalam tandunya. Jendral
Soedirman.
Tangisku dan tangis
Djuwari membahana. Kami lihat dihadapan kami pria kurus tapi karismatik.
Tergambar dari pucat wajah akan penyakit parah yang dideritanya. Hanya duduk
dalam tandu, ia memimpin puluhan orang memperjuangkan marwah bangsa. Siapa yang
tak bahagia bertemu dia, guru ngajiku. Yang begitu gagah memimpin tentara. Sungguh
aku rindu. Dulu kau ajarkan aku mengaji dan sholawat, sekarang, mohon ajari aku
takbir dan menembak penjajah.
Aku berdiri dengan
tangan yang masih terikat. Dengan isakan tangis suara parauku perlahan bicara
padanya. “Ustad, izinikan aku ikut denganmu. Jendral izinkan aku ikut dengan mu!”
ucapku merengek. Padahal usiaku sudah cukup tua untuk merengek seperti bocah. Tapi
kali ini aku lebih memilih mati ketimbang tidak diizinkan ikut.
“Jalan sekarang!” hanya
itu yang keluar dari mulut Pak Ustad. Luar biasa berwibawa, tangisku makin
keras. Pria yang semalam berwajah seram membuka ikatan tangan kami. Djuwari
bahkan ditamparnya sambil berkata
“Kalau mau ikut jendral
jangan cengeng, semua disini wajib pegang senjata!” aku buru-buru diam agar
tidak ditampar juga seperti Djuwari.
Perjalanan kami
lanjutkan. Diperjalanan pria itu menjelaskan pada kami bahwa malam ini markas
belanda diselatan hutan ini akan diserang. Ada gudang senjata dan bahan bakar
yang harus diledakkan.
“Tugas kami apa mas?”
Tanya Djuwari polos.
“Jangan bikin kacau!”
singkat padas jelas dan pedas. Anak baru seperti kami memang harus banyak
belajar dulu. Ini bukan main-main. Markas militer yang akan kami serang adalah
markas besar belanda. Sedikit saja kekacauan maka habislah, Jendral akan terancam.
Itulah sebabnya kami sempat dikira mata-mata oleh mereka semalam. Kewaspadaan
tinggi berlaku disini.
Tak terasa perjalanan
kian dekat pada tujuan, aku dan Djuwari mendekat pada pemikul tandu jendral. “Mas,
boleh gantian kami yang mikul tandunya jendral?” tanyaku pada salah seorang
pemuda yang memikul tandu jendral. Dia senyum dan menjawab.
“Boleh. Kalau aku sudah
mati nanti, ya!” Itulah jawaban dari pemuda yang pastinya karena ia enggan
menyerahkan kehormatan memikul tandu pemimpin mereka begitu saja. Pemuda itu
tentu baru akan berhenti setelah ia mati. Dan tentu ini tidak main-main. Suatu
hari nanti jika aku berkesempatan juga, tak akan kuserahkan pada yang lain
sebelum aku mati.
Kami sudah ditepian
hutan, Markas militer belanda sudah terihat, Jendral memberikan isyarat pada
seluruh pasukan yang dibawanya. Sebagian siap menyerang dan sebagian berjaga.
Dan dalam sekejap markas didepan sana riuh dan sirene berbunyi memekak malam.
Tentara belanda yang tak semua siap dan tak menduga serangan ini terlihat kacau
dari sini. Ingin sekali aku turut serta dalam pesta disana tapi anak baru harus
banyak belajar dulu.
Dikejauhan aku melihat
orang seram yang semalam menodongku, berlari menuju sebuah gedung. Sepertinya itu
adalah gudang senjata. Ia gagah sekali tapi malah terhenti dan jatuh. Peluru
telah merobohkannya. Spontan aku tergerak dan berlari kedepan menggapai sang
pahlawan. Sebisanya aku tarik dia keluar dari pertempuran dan mengamankannya di
dalam hutan.
“Nak, gedung itu harus
dibakar!” itu yang keluar dari mulut orang kekar yang sedang sekarat ini. Aku
paham dan dengan segera berlari menembus ributnya pertarungan malam itu. Desingan
puluru seakan menyentil telinga, keras dan tiada Henti. Takut sudah ku buang
malam itu. Karena malam itu aku begitu yakin akan mati, senang sekali rasanya.
Beban serta takut sudah terangkat dan menghilang dari akal sehatku. Meski sudah
senakat itu, syukurnya tidak ada satupun peluru mendatangiku. Tampa basa-basi
segera aku bakar gudang senjata yang tentu akan segera merembet menghancurkan
gudang bahan bakar.
Malam itu pesta besar,
tapi sayang aku dan orang ini harus terpisah dari kelompok geriliya. Sesaat
setelah gudang senjata belanda terbakar, kami semua mundur kembali kedalam
hutan. Kami berdua, aku dan orang berwajah seram yang belakangan aku tahu
namanya setiawan harus berlari keselatan menghindari kejaran belanda. Dan
Djuwari terus bersama jendral melanjutkan gerilia. Itulah sehari kebersamaanku
bergerilia bersama Ustad Soedirman, Jendral Soedirman.
69 tahun setelah merdeka.
Ku diberi umur panjang menyaksikan sejarah perjalanan bangsa. tidak banyak
orang sepertiku yang bisa merasakan seluruh presiden Indonesia mulai dari
Soekarno hingga Jokowi. Semua dinamika bangsa ini aku rasakan mulai dari G30S
PKI hingga pembekuan PSSI. Jadi aku bisa pastikan bahwa negeri ini, tak
semerdeka 1945. Sama saja, tetap berat dan perjuangan melawan penjajah kian
berat. Setiap masa bagiku adalah perang.
“Kek. Dia berhasil
ditemukan!” cicitku masuk kekamar. Membawa kabar yang kutunggu. Segera saja aku
minta diantarkan kesana. Perjalanan panjang hingga berhari-hari kutempuh
bersama cicitku, cucuku bahkan ikut. Sayang, anak-anakku sedang sibuk. Padahal
aku ingin mereka menyaksikan keajaiban.
Jalanan yang rusak
parah ke tempat tujuan membuat pinggangku makin sakit saja. Tapi itu tidak
penting karena sebentar lagi aku akan bertemu dengannya.
Disebuah desa terpencil
diatas gunung. Rumah-rumah disini membuatku memastikan tidak ada orang kaya
yang tinggal, semua miskin tertinggalkan pembangunan peradaban kota. Satu
persatu rumah membuka pintunya. Melihat orang asing datang. Tapi aku sama
sekali tak merasa asing dengan tempat ini. 60an tahun lalu aku disini bersama
dia. Sebelum kami kabur dari tempat ini dan menyusul Jendral.
Kami masuk kesebuah rumah.
Dan dia, sedang terbaring tempat tidurnya dikelilingi belasan keturunannya.
Kedatanganku sudah ditunggu. Diujung hidup sahabatku Djuwari. Dia telah
bergerilia begitu jauh dibelantara kehidupan ini.
“Tolong cerita
kepadaku. Kamu dan jendral ustad ngapain saja dihutan?” tanyaku pada sahabatku
yang bangkanya persis seperti aku, hanya saja ia lebih dulu sekarat.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak dirman. Aku manggul teko
Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk.”
65 tahun lalu aku
menghabiskan sehari bergerilia bersama ustad sudirman, jendral negeri ini.
65 tahun kemudian aku
ingin sekali menghabiskan waktu bersama sisa pahlawan gerilia. Aku ingin ia
bercerita kisah perjalanannya bersama Jendral yang akan membuatku iri. Seorang
pahlawan yang ada dikolong sejarah. Djuwari sahabatku.